Senin, 02 Juli 2007

Cari terobosan baru, robah tantangan jadi peluang

FLATRATE LEMBAR PEMANTAUAN SISWA
(FRLPS)

“Cari terobosan baru, robah tantangan jadi peluang”(sambil jari telunjuk kanan menunjuk keatas) itulah sekelumit kata-kata dari Bapak Aliuddin Hosen “Ketua Purie R” Kantor Pos Padang 25500 tahun-tahun pertama saya bekerja di Kantor Pos setalah menamatkan Pendidikan Menengah Pos tahun 1992. Kata-kata yang konon menurut beliau disadur dari ucapan sang jenius Indonesia Prof. DR. Ing. BJ Habibie. Sepintas hanya terdengar seperti ucapan klise yang tanpa kesan. Namun setelah belasan tahun kemudian saya baru menyadari betapa mendalamnya makna ungkapan tersebut bila diaplikasikan di lingkungan kerja sehari hari.
Sebagaimana diketahui bahwa tiap tahun sekolah- sekolah setingkat SMU/K melahirkan tamatan-tamatan yang akan memasuki tahapan baru dalam kehidupannya masing-masing. Bagi yang tamat SMU , kuliah merupakan impian selanjutnya yang ingin diraih, sementara bagi tamatan SMK tentunya lapangan kerja yang sesuai menjadi idaman.
Lalu bagaimana sekolah yang telah ditinggalkan ? Pertanyaan ini sungguh menggelitik hati saya, terutama sejak “dipromosikan” menjadi Kepala Kantor Pos Pariaman 25500 September 2006. Setelah beberapa saat melakukan orientasi medan kedua (karena pada tanhun 1995-1996 saya juga pernah berdinas di pariaman) dan melaksanakan konsolidasi kedalam, maka sayapun mencoba untuk menngumpulkan informasi melalui beberapa kepala sekolah yang sengaja saya datangi. Saya hanya ingin mengetahui sampai sejauh mana pihak sekolah memantau lulusan mereka. Apakah setelah para mantan siswa mengambil ijazah / STTB, sekolah putus hubungan sama sekali dengan mantan anak didik mereka. Dan hasilnya sungguh mengejutkan, tidak satupun sekolah yang saya datangi tersebut berhubungan lagi dengan para lulusan mereka. Artinya pihak sekolah tidak tahu sama sekali setelah tamat mantan siswa tersebut apakah kuliah , bekerja , atau malah ikut berpartisipasi dalam menambah angka pengangguran. Memang ada satu dua siswa yang melaporkan dirinya setelah diterima kuliah di perguruan tinggi anu atau bekerja di perusahaan ini/itu, tapi berapa prosen dibanding seluruh siswa yang tamat ? atau setidaknya dibanding siswa yang tamat di tahun berjalan ? Jawabnya tidak sampai 1%. Jadi bagaimana sebuah sekolah menyatakan mutu lulusannya adalah yang terbaik kalau tidak punya data sama sekali. Kalau hanya sekedar meluluskan siswa saya rasa bukan pekerjaan yang sulit, buktinya banyak cara dilakukan sekolah agar siswanya lulus dengan prosentasi besar . Dari cara yang halal hingga yang haram (dengan membocorkan soal ujian)
Lalu pertanyaan saya selanjutnya kepada pihak sekolah, “Sampai sejauh mana pihak sekolah berusaha untuk memantau para lulusan mereka ? Jawabnya sederhana yaitu hanya sebatas menyarankan para siswa agar kalau nanti tamat dan melanjutkan kuliah atau bekerja dapat memberitahu sekolahnya.Hanya begitu, tidak lebih dan tak kurang.
Satu bulan lebih pertanyaan-pertanyaan diatas mengusik saya. Sehingga akhirnya secara tiba-tiba muncul pertanyaan lagi dibenak saya, “Apa yang bisa saya (PT Pos Indonesia)lakukan untuk membantu pihak sekolah ?” Beberapa hari saya luangkan waktu untuk melamun di ruangan kerja saya mencari ide hingga suatu hari Spv SDM saya mnyerahkan bulletin amplop Flatrate yang seingat saya waktu itu membahas peluang pengiriman lamaran CPNS dengan layanan FR. “ Nah ini dia yang saya cari”, batin saya berkata,”Kenapa seluruh siswa yang akan tamat SMU/K tidak dibekali dengan selembar formulir yang wajib diisi dan dikembalikan dalam amplop FR Rp 4.000 kepada sekolah beberapa waktu setelah tamat yang berisi informasi bahwa siswa yang bersangkutan telah kuliah di perguruan tinggi A, atau sudah bekerja diperusahaan B, atau masih mencari kerja?” sehingga dengan demikian sekolah punya data yang valid mengenai para lulusannya. Kalau untuk sekolah kejuruan misalnya sekian prosen tamatannya melanjutkan kuliah dan sekian prosen diterima bekerja. Disini mulailah sekolah bisa menilai mutu sekolahnya dan menyatakannya dalam sekumpulan angka. Kalau dinilai baik tinggal dipertahankan sementara kalau kurang baik tinggal memperbaikinya.
Saya kumpulkan para supervisor Kantor Pos Pariaman untuk membahas lebih lanjut mengenai hal ini. Beberapa ide dan gagasan muncul dalam rapat sehingga akhirnya disepakati sebuah layanan dengan nama “FR LPS” (Flatrate Lembar Pemantauan Siswa) Selanjutnya tentu saja ide ini harus dikomunikasikan dengan pihak sekolah sebagai pengguna layanan ini. Disusunlah jadwal kunjungan ke sekolah-sekolah terutama SMK, karena tamatan SMK pada umumnya tidak melanjutkan kuliah, tapi cendrung mencari lapangan kerja.
Dari dua SMK Ekonomi yaitu SMKN 2 dan SMK YPM Zain Pauh kambar dimana saya juga menjadi penguji kompetensi masing-masing berada di Kota Pariaman dan di Kabupaten Pariaman saya mendapat tanggapan yang sungguh luar biasa. Kedua Kepala Sekolah malah berkata kenapa tidak dari dulu pak PT Pos Indonesia meluncurkan layanan ini sehingga tiap tahun kami dapat mengevaluasi mutu sekolah kami dari hasil laporan siswa ini ? Sebuah jalan telah terbuka. Seterusnya tentu perlu disusun strategi untuk mensosialisasikan layanan ini ke seluruh sekolah-sekolah SMU/K.
Hal yang pertama kali sangat dibutuhkan untuk dapat mendatangi sekolah-sekolah adalah rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Lalu saya mencoba untuk mendongengkan cerita tentang kebutuhan evaluasi hasil pendidikan SMU/K kepada Kepala Bagian SMU/K di Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan hasilnya hari itu juga keluar surat rekomendasi kepada PT Pos Indonesia cq Kantor Pos Pariaman untuk mensosialisasikan layanan FR LPS ini keseluruh SMU/K di Kabupaten Padang Pariaman , karena ternyata Dinas Pendidikan sendiri selama ini tidak mempunyai data. Artinya selama ini Dinas pendidikan juga belum sampai memikirkan evaluasi mengenai para lulusan SMU/K tersebut.
Rekomendasi sudah ditangan tinggal melaksanakannya. Lalu muncul masalah yaitu waktu yang sudah mepet sekali karena saat itu para siswa kelas 3 SMU/K sudah mulai melaksanakan UAN (Ujian Akhir Nasional). Tapi dengan modal keyakinan saya mencoba untuk mendatangi SMK dimana saya terdaftar sebagai penguji kompetensi tetap. Kedua Kepala Sekolah ternyata bersedia mencarikan waktu disela-sela pelaksanaan UAS untuk saya memberikan langsung sosialisasi kepada seluruh siswa kelas 3. hal ini dikarenakan untuk layanan ini mau tak mau harus ada harga yang harus dibayar oleh siswa. Pihak sekolah sedikit khawatir kalau sekolah yang memberitahukan kepada siswa akan memberikan kesan banyaknya pungutan menjelang tamat sekolah. Untuk menghindari anggapan tersebut, maka Pos Indonesia sendiri yang harus menjelaskan kepada siswa, dan bila siswa setuju pihak sekolah akan dengan senang hati mengumpulkan dari siswa dengan cara menambahkan biaya FRLPS kepada komponen biaya administrasi pengurusan ijazah. Ternyata dari hasil tanya jawab saya dengan para siswa kelas 3 saat sosialisasi rata-rata mengatakan layanan ini sangat berguna dan sangat murah karena tidak lebih dari harga semangkok baso.
Dua sekolah sudah dipegang, lalu bagaimana dengan puluhan sekolah yang berada di kota maupun kabupaten lainnya ? Satu-satunya jalan adalah memberdayakan seluruh Kakp Cabang diwilayah kerja Kantor Pos Pariaman. Lalu apakah semua Kkpc kita bisa bicara atau menguasai tekhnik negosiasi ? Jangankan bernegosisasi atau meberi sosialisasi pak, bicara saja para Kkpc kita banyak yang tidak bisa, begitu perkataan beberapa Supervisor. Wah wah ternyata untuk emluncurkan sebuah layanan sederhana saja saya harus mulai dengan melatih para pegawai cara bicara/negosiasi. Tapi tidak apa-apa justru inilah kesempatan saya.
Mendadak diundanglah seluruh Kkpc sewilayah kerja Pariaman untuk diberi pelatihan cara bicara atau memberikan sosialisasi bahkan tekhnik negosiasi. Untung sebelumnya saya sudah mendapatkan sedikit ilmu mengenai tekhnik negosisasi dari Bapak DR.Setyo Riyanto, MM di Bandung saat mengikuti pelatihan Corporate Leadership di beberapa waktu setelah saya menjabat Kepala Kantor Pos Pariaman. Ternyata ilmu ini sangat berguna. Dan inilah kesempatan saya menularkan ilmu yang telah didapat dari pelatihan tersebut kepada pegawai lain.
Pelatihan kepada para Kakpc dilakukan dengan metode simulasi yaitu dengan cara seolah-olah para Kkpc berhadapan dengan kepala sekolah. Untuk peran kepala sekolah saya tunjuk Para Supervisor. Ternyata perkataan beberapa supervosir saya benar, untuk bicara saja para Kkpc itu sulit. Banyak yang grogi, padahal belum berhadapan langsung dengan Kepala Sekolah yang sebenarnya. Mulai pukul 14.00 s.d pukul 18.00 pada hari Jum’at pelatihan dilaksanakan sedemikian rupa hingga seluruh Kkpc mempunya rasa percaya diri untuk mensosialisasikan layanan FRLPS ini kepada seluruh kepala sekolah SMU/K di wilayah kerjanya masing-masing. O.K selamat berjuang kata saya diakhir pelatihan tersebut.
Beberapa waktu berlalu hingga pelaksanaan UAN/UAS selesai dan saya menunggu hasilnya dari seluruh Kkpc saya. Ternyata dari sepuluh orang Kkpc hanya dua yang berhasil menggaet sekolah di wilayahnya untuk menggunakan layanan ini. Tapi hasilnya cukup lumayan, setidaknya 250 amplop FR tariff Rp 4.000 terjual, sementara untuk sekolah-sekolah yang di Kota Pariaman yang sosialisasinya dipegang langsung oleh tim pemasaran Kp Pariaman setidaknya 500 lembar terjual. Seandainya layanan ini diluncurkan diseluruh Indonesia, bayangkan berapa jumlah siswa SMU/K yang tamat setiap tahun,lalu berapa ratus ribu atau bahkan berapa juta amplop FR bisa kita jual setiap tahunnya.
Sekarang amplop FRLPS sudah ditangan masing-masing siswa yang tamat tahun ini. Tinggal menunggu pengembalian dari siswa setelah tamat nanti. Dan sebagai antisipasi, telah disosialisasikan kepada seluruh siswa tersebut agar LPS ini dikembalikan ke sekolah paling lambat akhir bulan Agustus 2007. Ditengah-tengah proses menunggu pengembalian LPS ini tba-tiba muncul ide baru dibenak saya yaitu , seandainya banyak dari siswa (terutama SMK) nantinya melaporkan bahwa masih menganggur, kenapa tidak diteruskan saja dengan layanan amplop Flatrate Informasi Lowongan Kerja ? Bagaimana konsep FILK ini ? mari kita tunggu saja pada tulisan berikutnya.


akhir Juni 2007
(Arsyawal)