Akhir-akhir ini sering kita lihat seminar-seminar diiklankan melalui media cetak baik local maupun nasional. Dari seminar yang bertemakan motivasi, manajemen dan yang paling sering kita lihat yang bertemakan “how to”. Seperti contoh seminar “financial revolution” yang digagas oleh Mr Tung Desem Waringin, atau seminar “sholat khusyuk” yang dirilis oleh Abu Sangkan dan lain-lain. Demikian juga kalau kita rajin surfing di internet mencari situs-situs yang berkaitan dengan pelatihan-pelatihan apapun jenisnya, maka kita disuguhi dengan beberapa “kesaksian” (testimonial) dari orang yang diungkapkan oleh mereka yang pernah mengikuti seminar atau pelatihan tersebut. Dan biasanya orang-orang yang memberikan kesaksian ini bukan orang sembarangan. Ada tokoh politik, tokoh ekonomi, selebritis, CEO sebuah perusahaan besar dan sebagainya.
Seandainya kita mau perhatikan, fenomena “testimonial” ini merupakan suatu cara baru yang dilakukan oleh provider seminar/pelatihan untuk mendongkrak peminatnya pada suatu even seminar/pelatihan yang akan dilakukan pada waktu tertentu. Bahkan testimony ini ditulis besar-besar sampai memakan space hingga 30 % dari iklan seminar tersebut. Pada media cetak. Dan ternyata cara ini sangat ampuh untuk meningkatkan jumlah peserta seminar/pelatihan yang sebenarnya boleh dikatakan “tidak murah”, namun karena sang pemberi kesaksian adalah orang yang tak diragukan lagi kredibilitasnya, maka kesaksian ini seolah-olah menjadi magnet bagi calon peserta lainnya.
Setelah saya amati pola testimonial ini hamper sama dengan pola “endorsemen” yang dilakukan oleh seorang pengarang buku untuk mendongkrak penjualan bukunya. Banyak buku “bestseller” diendors oleh pakar-pakar pada bidangnya. Contoh yang paling mudah cobalah pehatikan buku “Financial Revolution” karya Mr.Tung Desem Waringin yang memecahkan rekor MURI sebagai buku bestseller yang menciptakan angka yang sungguh spektakuler dihari pertama peluncurannya. Buku ini terjual sebanyak 10.511 eksemplar hanya dalam sehari . Luar biasa!!! Dan sampai sekarang buku ini sudah naik cetak sampai 6 kali ! sekali lagi fantastic!
Buku tersebut diendors antara lain oleh Hermawan Kartajaya, Andrie Wongso, Adreas Harefa, dan Adrew Ho. Siapa yang tak kenal dengan tiga orang pakar tersebut ? Hermawan Kartajaya seorang pakar pemasaran yang sekarang masih menjabat sebagai Presiden markPlus & Co. Andrie Wongso seorang motivator nomor 1 di Indonesia dengan training-training motivasi nya yang sungguh berkesan, disamping sebagai pengarang buku motivasi yang sangat produktif. Andreas Harefa adalah seorang Inspirational Writer, Trainer, dan Speaker tulisan-tulisannya yang bermutu dapat dijumpai pada situs pembelajar. Lalui Andrew Ho seorang penulis buku motivasi yang handal yang banyak mengadopsi pepatah-pepatah China yang bijaksana dan menenangkan. Beliau juga seoorang penulis buku bestseller “Highway to Succes” dan penerima Business Indonesian Award tahun 2004.
Kalau para pakar diatas telah bicara dan memberi kesaksian atas buku Mr Tung Desem Waringin tersebut, siapa yang tidak akan percaya dan bagaimana mungkin orang tidak akan tertarik dan penasaran dengan buku tersebut. Akhirnya buku tersebut laris bak kacang goreng.
Lalu saya berpikir tidakkah ini suatu pengelabuan ? ternyata tidak. Tidak mungkin orang-orang sekaliber mereka akan berkata bohong dan mengorbankan reputasinya untuk memuji-muji buku yang sederhana sebagai karya yang luar biasa. Tidak mungkin mereka akan memberikan kesaksiannya kalau buku yang mereka ulas tidak pernah mereka baca.
Saat merenung tiba-tiba muncul ide untuk mencoba mengadopsi cara demikian untuk memasarkan Shar-e Tabungan Qurban kepada pensiunan yang mengambil uang pensiunnya di kantor saya. Saya undang seorang yang sudah sangat berpengalaman soal trnasaksi dengan BMI untuk memberi testimony/kesaksiannya didepan ratusan pensiunan. Kebetulan ybs juga mempunyai sdikit kemampuan berdakwah.
Tanggal 05 Juni 2007 saya coba menghadirkan beliau saat pensiunan ramai mengantri di loket pensiun. Saya pasang microphone dan sambil menunggu Bapak itu datang saya coba sedikit-sedikit pidato soal tabungan Shar-e . Tabungan yang bebas riba (riba / bunga bank = haram sesuai fatwa MUI) . Saya niatkan kegiatan saya memasarkan Shar-e ini sebagai ibadah untuk mencegah orang lain makan harta riba. Dengan semangat saya menjelaskan segala sesuatu tentang tabungan Shar-e dan saya lihat semua pensiuan mangut-mangut tanda mengerti. Tepat pukul 08.00 yang saya tunggu-tunggu datang juga. Langsung beliau saya persilhakan memberikan kesaksiannya tentang bertransaksi dengan BMI.
Dengan gaya yang sangat alami tanpa kesan menggurui beliau memceritakan panjang lebar pengalamannya soal Shar-e. Diceritakan hilangnya rasa was-was akan termakan harta riba kalau menabung di Shar-e. Hingga lebih kurang 1 jam beliau menyampaikan kesaksiannya, diselingi diskusi ringan dengan para pensiunan yang antusias. Dan hasilnya …. Saat itu juga setidaknya 20 pensiunan mengajukan aplikasi tabungan Shar-e untuk menabung guna persiapan menyambut hari raya Qurban. Ternyata sungguh sangat efektif.
Melihat kesuksesan awal penerapan metode testimonial ini, maka saya merencanakan akan menerapkan juga untuk produk-produk yang lain . Tinggal mencari “sang pemberi kesaksian” dan waktu serta tempat yang tepat….
(arsyawal)
Kamis, 05 Juli 2007
Rabu, 04 Juli 2007
SMU/SMK HANYA MELAHIRKAN PENGANGGURAN ?
Beberapa hari belakangan ini media-media cetak lokal ramai sekali memberitakan berbagai liputan bekaitan dengan euphoria kelulusan siswa baik SMP maupun SMU/K. Ada yang berisi pujian terhadap sekolah yang berhasil meluluskan siswanya diatas 90%, ada yang memberitakan tentang siswa-siswa yang berprestasi mulai dari peraih nilai UAN tertinggi sampai pada siswa-siswa yang beruntung dapat masuk Perguruan Tinggi melalu jalur PMDK. Begitu ramainya sehingga dari pertengahan Juni sampai awal bulan Juli ini berita-berita sejenis masih menghiasi halaman-halaman koran seolah-olah masalah kelulusan ini menjadi sumber berita yang tidak akan ada habisnya.
Saya sungguh geli dan sedih membaca berita bagaimana para siswa lulusan sebuah SMU disuatu kota di Sumbar melampiaskan kegembiraannya dengan aksi corat-coret baju seragam sekolah yang mungkin bagi sebagian besar anak-anak lain untuk membeli seragam yang layak saja harus berurai air mata meminta kepada orang tuanya karena si orang tua hanyalah buruh bangunan dengan penghasilan senin kamis.
Sungguh suatu yang ironis menurut saya, kenapa tidak ? coba simak berita-berita beberapa waktu lalu sebelum UAN dilaksanakan. Banyak terpampang berita tentang bagaimana sebuah sekolah mengadakan “muhasabah” hanya untuk menenangkan batin para siswa yang akan mengikuti UAN seakan-akan UAN seperti kiamat kecil yang bakal datang menimpa. Saya juga masih ingat ketika dibeberapa TV swasta diberitakan banyak sekolah-sekolah yang juga mengadakan “pengajian” yang diakhiri dengan acara salam-salaman antara siswa dengan para guru atau orang tuanya yang dengan berurai air mata memohon do’a restu sang guru dan orang tua laksana seorang pemuda yang pamit kepada orang tuanya untuk mengahadapi medan pertempuran besar yang mungkin akan mengambil nyawanya. Kedatangan hantu menakutkan yang bernama UAN disikapi dengan berbagai cara. Berbagai jalan dilakukan untuk mengalahkan sang hantu tersebut. Mulai cara yang halal hingga cara haram seperti yang pernah dilansir media yaitu bagaimana murid SMK Dhuafa padang “walk out” dari ruang ujian karena menyaksikan suatu kecurangan terjadi didepan mereka.
Sekarang setelah sang hantu UAN berlalu dari hadapan mereka para siswa. Ada yang menang melawan hantu tersebut alias lulus UAN ada yang kalah alias tidak lulus. Yang menang berpesta pora yang kalah larut dalam kesedihannya. Dan sayangnya yang menang menyikapi dengan berlebihan sebagaimana yang saya sebutkan diatas yaitu dengan corat-coret baju atau konvoi-konvoi dengan sepeda motor mengelilingi kota sambil menikmati sumpah serapah masyarakat yang merasa terganggu dengan polah tingkah mereka. Alhamdulillah konvoi-konvoi ala anak Jakarta ini tidak terlalu banyak dijumpai di Sumatera Barat.
Sekali lagi saya “geli” melihat para siswa baru tamat terutama SMU/K tersebut. Coba hitung berapa dari sekian ribu atau bahkan puluhan ribu siswa yang baru tamat tersebut akan tertampung di Perguruan Tinggi atau diterima bekerja terutama bagi yang berasal dari SMK. Berapa persen ? 10 % ? , 20 % , 30 % atau mungkin sampai 50% ? . taruhlah 50% tertampung terus sisanya kemana ? Angka kualitas 50% itu mewakili kuantitas berapa (puluh) ribu ? Sungguh fantastis ! Itu baru di Sumatera Barat lalu bagaimana untuk seluruh Indonesia ? Spektakuler itulah jawabannya.
Lebih geli lagi ketika saya membaca tulisan Sdr R. Andriadi Achmad di halaman Opini Padek tanggal 4 Juli 2007. Dalam artikel berjudul “Sarjana Muda di Tengah Kebingungan” dimana penulisnya mengambil data statistic tahun 2005 dimana 708.254 jiwa pengangguran di Indonesia disumbangkan oleh Pergutuan Tinggi. Lalu berapa angka yang disumbangkan SMU/K ? jawabnya mungkin dua kali lipat , tiga kali lipat , atau bahkan sepuluh kali lipat ? yang jelas angka pengangguran yang disumbangkan oleh SMU/K pasti jauh lebih besar. Bayangkan kalau tamat PT saja masih menganggur bagaimana kalau cuma tamat SMU/K ? Kalau begitu apa yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah SMU/K setiap tahunnya kalau bukan pengangguran ? Dalam tulisannya Sdr. Andiadi berpendapat factor-faktor kenapa para sarjana muda berada dipersimpangan jalan pasca kampus antara lain para sarjana belum siap menghadapi dunia masyarakat (mungkin maksudnya dunia kerja atau dunia usaha?) Kalau mantan mahasiswa saja belum siap bagaimana mantan anak SMU/K ?
Saya pernah beberapa kali berdiskusi dengan beberapa kepala sekolah SMK di Kota Pariaman dan kabupaten Padang Pariaman. Saya hanya menanyakan suatu pertanyaan yang sedehana sekali kepada beliau-beliau yaitu berapa persen dari tamatan sekolah mereka sudah bekerja atau kuliah. Tidak satupun dari kepala sekolah dapat memberikan data yang akurat tentang hal itu. Artinya selama ini sekolah tidak berhubungan lagi dengan para mantan siswanya. Memang ada satu dua yang melaporkan diri setelah diterima bekerja atau melanjutkan kuliah.
Pernah juga saya berdiskusi dengan Ka Bag SMU/K Dinas Dikora Kabupaten tempat saya bekerja mengenai hal ini. Artinya apakah Dinas Dikora sebagai dinas yang berkompeten mengurusi masalah ini punya data tentang berapa persen tamatan SMU/K setiap tahunnya yang melanjutkan kuliah , bekerja, atau seperti disebutkan diatas berpartisipasi dalam meningkatkan angka pengangguran. Ternyata mereka juga tidak punya data. Jadi hasil pendidikan selama tiga tahun siswa SMU/K hanya dinilai dari berapa persen yang lulus UAN. Sungguh luar biasa….
Tak ketinggalan pula saya mencoba berdiskusi mengenai pengangguran yang disumbangkan oleh SMU/K dengan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terlontar anekdot lucu dari beliau yaitu bagaimana tamatan SMK saja masih banyak yang tidak bekerja apalagi tamatan SMU. Lalu beliau menyebutkan bahwa SMK sekarang hanyalah nama lain dari SMU IPS/BAHASA di jaman beliau muda dahulu. Lalu saya bertanya, “ Bagusnya menurut Bapak bagaimana ?” Beliau menjawab harusnya metode pengajaran di SMK tidak memakai kurikulum sebagaimana yang dijalankan sekarang, harusnya untuk SMK memakai silabus yang disesuaikan dengan kebutuhan sekarang dan bisa disesuiakan setiap waktu mengikuti perkembangan jaman”. Menurut beliau lagi SMU itu cukup satu tahun saja, artinya sewaktu mau naik kelas dua sudah diketahui potensi seorang siswa untuk meneruskan pendidikan sampai ke PT sangat kecil, maka segera yang bersangkutan dipindahkan ke SMK untuk dipersiapkan menjadi calon tenaga kerja yang handal sesuai tingkatannya. Lebih jauh lagi beliau berpendapat agar setiap tamatan SMK mendapatkan sertifikat keahlian yang bisa “dijual” di pasaran tenaga kerja seperti ini kata beliau (sambil beliau menyodorkan contoh sertifikat keahlian mengelas dengan grade/level tertentu yang saya lupa ).
Dari uraian diatas ternyata tidak begitu salah kalau dikatakan SMU/K dengan kondisi seperti saat ini diteruskan, maka SMU/K hanya akan melahirkan penganguran-pengangguran baru setiap tahunnya. Lalu bagaimana solusinya ? Mari kita pikirkan bersama. Namun sejalan dengan upaya mencari solusi atas masalah diatas alangkah indahnya kalau pihak sekolah dan dinas terkait mulai sekarang memiliki data yang valid tentang mutu tamatan SMU/K setiap tahun yang tidak hanya dilihat dari angka kelulusan UAN semata tapi lebih jauh lagi yaitu berapa yang melanjutkan pendidikan, berapa yang ikut kursus-kursus, berapa yang mendapatkan lapangan kerja (atau bahkan membuat lapangan kerja sendiri) dan berapa yang tidak termasuk dalam ketegori diatas alias masih mencari kerja.
Disini penulis memiliki ide sederhana yaitu bagaimana kalau setiap lulusan SMU/K dibekali dengan selembar surat (atau taruhlah namanya Lembar Pemantauan Siswa) berisi pemberitahuan yang akan dikirimkan kepada sekolahnya setelah tamat setidaknya 6 bulan setelah tamat sehingga sekolah memiliki data yang akurat mengenai lulusannya. Dan formulir ini harus dibagikan sebelum siswa benar-benar putus hubungan dengan sekolahnya dan kepada siswa agar ditekankan supaya benar-benar mengembalikan/ mengirim pemberitahuan tersebut kesekolahnya.
(arsyawal)
Saya sungguh geli dan sedih membaca berita bagaimana para siswa lulusan sebuah SMU disuatu kota di Sumbar melampiaskan kegembiraannya dengan aksi corat-coret baju seragam sekolah yang mungkin bagi sebagian besar anak-anak lain untuk membeli seragam yang layak saja harus berurai air mata meminta kepada orang tuanya karena si orang tua hanyalah buruh bangunan dengan penghasilan senin kamis.
Sungguh suatu yang ironis menurut saya, kenapa tidak ? coba simak berita-berita beberapa waktu lalu sebelum UAN dilaksanakan. Banyak terpampang berita tentang bagaimana sebuah sekolah mengadakan “muhasabah” hanya untuk menenangkan batin para siswa yang akan mengikuti UAN seakan-akan UAN seperti kiamat kecil yang bakal datang menimpa. Saya juga masih ingat ketika dibeberapa TV swasta diberitakan banyak sekolah-sekolah yang juga mengadakan “pengajian” yang diakhiri dengan acara salam-salaman antara siswa dengan para guru atau orang tuanya yang dengan berurai air mata memohon do’a restu sang guru dan orang tua laksana seorang pemuda yang pamit kepada orang tuanya untuk mengahadapi medan pertempuran besar yang mungkin akan mengambil nyawanya. Kedatangan hantu menakutkan yang bernama UAN disikapi dengan berbagai cara. Berbagai jalan dilakukan untuk mengalahkan sang hantu tersebut. Mulai cara yang halal hingga cara haram seperti yang pernah dilansir media yaitu bagaimana murid SMK Dhuafa padang “walk out” dari ruang ujian karena menyaksikan suatu kecurangan terjadi didepan mereka.
Sekarang setelah sang hantu UAN berlalu dari hadapan mereka para siswa. Ada yang menang melawan hantu tersebut alias lulus UAN ada yang kalah alias tidak lulus. Yang menang berpesta pora yang kalah larut dalam kesedihannya. Dan sayangnya yang menang menyikapi dengan berlebihan sebagaimana yang saya sebutkan diatas yaitu dengan corat-coret baju atau konvoi-konvoi dengan sepeda motor mengelilingi kota sambil menikmati sumpah serapah masyarakat yang merasa terganggu dengan polah tingkah mereka. Alhamdulillah konvoi-konvoi ala anak Jakarta ini tidak terlalu banyak dijumpai di Sumatera Barat.
Sekali lagi saya “geli” melihat para siswa baru tamat terutama SMU/K tersebut. Coba hitung berapa dari sekian ribu atau bahkan puluhan ribu siswa yang baru tamat tersebut akan tertampung di Perguruan Tinggi atau diterima bekerja terutama bagi yang berasal dari SMK. Berapa persen ? 10 % ? , 20 % , 30 % atau mungkin sampai 50% ? . taruhlah 50% tertampung terus sisanya kemana ? Angka kualitas 50% itu mewakili kuantitas berapa (puluh) ribu ? Sungguh fantastis ! Itu baru di Sumatera Barat lalu bagaimana untuk seluruh Indonesia ? Spektakuler itulah jawabannya.
Lebih geli lagi ketika saya membaca tulisan Sdr R. Andriadi Achmad di halaman Opini Padek tanggal 4 Juli 2007. Dalam artikel berjudul “Sarjana Muda di Tengah Kebingungan” dimana penulisnya mengambil data statistic tahun 2005 dimana 708.254 jiwa pengangguran di Indonesia disumbangkan oleh Pergutuan Tinggi. Lalu berapa angka yang disumbangkan SMU/K ? jawabnya mungkin dua kali lipat , tiga kali lipat , atau bahkan sepuluh kali lipat ? yang jelas angka pengangguran yang disumbangkan oleh SMU/K pasti jauh lebih besar. Bayangkan kalau tamat PT saja masih menganggur bagaimana kalau cuma tamat SMU/K ? Kalau begitu apa yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah SMU/K setiap tahunnya kalau bukan pengangguran ? Dalam tulisannya Sdr. Andiadi berpendapat factor-faktor kenapa para sarjana muda berada dipersimpangan jalan pasca kampus antara lain para sarjana belum siap menghadapi dunia masyarakat (mungkin maksudnya dunia kerja atau dunia usaha?) Kalau mantan mahasiswa saja belum siap bagaimana mantan anak SMU/K ?
Saya pernah beberapa kali berdiskusi dengan beberapa kepala sekolah SMK di Kota Pariaman dan kabupaten Padang Pariaman. Saya hanya menanyakan suatu pertanyaan yang sedehana sekali kepada beliau-beliau yaitu berapa persen dari tamatan sekolah mereka sudah bekerja atau kuliah. Tidak satupun dari kepala sekolah dapat memberikan data yang akurat tentang hal itu. Artinya selama ini sekolah tidak berhubungan lagi dengan para mantan siswanya. Memang ada satu dua yang melaporkan diri setelah diterima bekerja atau melanjutkan kuliah.
Pernah juga saya berdiskusi dengan Ka Bag SMU/K Dinas Dikora Kabupaten tempat saya bekerja mengenai hal ini. Artinya apakah Dinas Dikora sebagai dinas yang berkompeten mengurusi masalah ini punya data tentang berapa persen tamatan SMU/K setiap tahunnya yang melanjutkan kuliah , bekerja, atau seperti disebutkan diatas berpartisipasi dalam meningkatkan angka pengangguran. Ternyata mereka juga tidak punya data. Jadi hasil pendidikan selama tiga tahun siswa SMU/K hanya dinilai dari berapa persen yang lulus UAN. Sungguh luar biasa….
Tak ketinggalan pula saya mencoba berdiskusi mengenai pengangguran yang disumbangkan oleh SMU/K dengan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terlontar anekdot lucu dari beliau yaitu bagaimana tamatan SMK saja masih banyak yang tidak bekerja apalagi tamatan SMU. Lalu beliau menyebutkan bahwa SMK sekarang hanyalah nama lain dari SMU IPS/BAHASA di jaman beliau muda dahulu. Lalu saya bertanya, “ Bagusnya menurut Bapak bagaimana ?” Beliau menjawab harusnya metode pengajaran di SMK tidak memakai kurikulum sebagaimana yang dijalankan sekarang, harusnya untuk SMK memakai silabus yang disesuaikan dengan kebutuhan sekarang dan bisa disesuiakan setiap waktu mengikuti perkembangan jaman”. Menurut beliau lagi SMU itu cukup satu tahun saja, artinya sewaktu mau naik kelas dua sudah diketahui potensi seorang siswa untuk meneruskan pendidikan sampai ke PT sangat kecil, maka segera yang bersangkutan dipindahkan ke SMK untuk dipersiapkan menjadi calon tenaga kerja yang handal sesuai tingkatannya. Lebih jauh lagi beliau berpendapat agar setiap tamatan SMK mendapatkan sertifikat keahlian yang bisa “dijual” di pasaran tenaga kerja seperti ini kata beliau (sambil beliau menyodorkan contoh sertifikat keahlian mengelas dengan grade/level tertentu yang saya lupa ).
Dari uraian diatas ternyata tidak begitu salah kalau dikatakan SMU/K dengan kondisi seperti saat ini diteruskan, maka SMU/K hanya akan melahirkan penganguran-pengangguran baru setiap tahunnya. Lalu bagaimana solusinya ? Mari kita pikirkan bersama. Namun sejalan dengan upaya mencari solusi atas masalah diatas alangkah indahnya kalau pihak sekolah dan dinas terkait mulai sekarang memiliki data yang valid tentang mutu tamatan SMU/K setiap tahun yang tidak hanya dilihat dari angka kelulusan UAN semata tapi lebih jauh lagi yaitu berapa yang melanjutkan pendidikan, berapa yang ikut kursus-kursus, berapa yang mendapatkan lapangan kerja (atau bahkan membuat lapangan kerja sendiri) dan berapa yang tidak termasuk dalam ketegori diatas alias masih mencari kerja.
Disini penulis memiliki ide sederhana yaitu bagaimana kalau setiap lulusan SMU/K dibekali dengan selembar surat (atau taruhlah namanya Lembar Pemantauan Siswa) berisi pemberitahuan yang akan dikirimkan kepada sekolahnya setelah tamat setidaknya 6 bulan setelah tamat sehingga sekolah memiliki data yang akurat mengenai lulusannya. Dan formulir ini harus dibagikan sebelum siswa benar-benar putus hubungan dengan sekolahnya dan kepada siswa agar ditekankan supaya benar-benar mengembalikan/ mengirim pemberitahuan tersebut kesekolahnya.
(arsyawal)
Senin, 02 Juli 2007
Cari terobosan baru, robah tantangan jadi peluang
FLATRATE LEMBAR PEMANTAUAN SISWA
(FRLPS)
“Cari terobosan baru, robah tantangan jadi peluang”(sambil jari telunjuk kanan menunjuk keatas) itulah sekelumit kata-kata dari Bapak Aliuddin Hosen “Ketua Purie R” Kantor Pos Padang 25500 tahun-tahun pertama saya bekerja di Kantor Pos setalah menamatkan Pendidikan Menengah Pos tahun 1992. Kata-kata yang konon menurut beliau disadur dari ucapan sang jenius Indonesia Prof. DR. Ing. BJ Habibie. Sepintas hanya terdengar seperti ucapan klise yang tanpa kesan. Namun setelah belasan tahun kemudian saya baru menyadari betapa mendalamnya makna ungkapan tersebut bila diaplikasikan di lingkungan kerja sehari hari.
Sebagaimana diketahui bahwa tiap tahun sekolah- sekolah setingkat SMU/K melahirkan tamatan-tamatan yang akan memasuki tahapan baru dalam kehidupannya masing-masing. Bagi yang tamat SMU , kuliah merupakan impian selanjutnya yang ingin diraih, sementara bagi tamatan SMK tentunya lapangan kerja yang sesuai menjadi idaman.
Lalu bagaimana sekolah yang telah ditinggalkan ? Pertanyaan ini sungguh menggelitik hati saya, terutama sejak “dipromosikan” menjadi Kepala Kantor Pos Pariaman 25500 September 2006. Setelah beberapa saat melakukan orientasi medan kedua (karena pada tanhun 1995-1996 saya juga pernah berdinas di pariaman) dan melaksanakan konsolidasi kedalam, maka sayapun mencoba untuk menngumpulkan informasi melalui beberapa kepala sekolah yang sengaja saya datangi. Saya hanya ingin mengetahui sampai sejauh mana pihak sekolah memantau lulusan mereka. Apakah setelah para mantan siswa mengambil ijazah / STTB, sekolah putus hubungan sama sekali dengan mantan anak didik mereka. Dan hasilnya sungguh mengejutkan, tidak satupun sekolah yang saya datangi tersebut berhubungan lagi dengan para lulusan mereka. Artinya pihak sekolah tidak tahu sama sekali setelah tamat mantan siswa tersebut apakah kuliah , bekerja , atau malah ikut berpartisipasi dalam menambah angka pengangguran. Memang ada satu dua siswa yang melaporkan dirinya setelah diterima kuliah di perguruan tinggi anu atau bekerja di perusahaan ini/itu, tapi berapa prosen dibanding seluruh siswa yang tamat ? atau setidaknya dibanding siswa yang tamat di tahun berjalan ? Jawabnya tidak sampai 1%. Jadi bagaimana sebuah sekolah menyatakan mutu lulusannya adalah yang terbaik kalau tidak punya data sama sekali. Kalau hanya sekedar meluluskan siswa saya rasa bukan pekerjaan yang sulit, buktinya banyak cara dilakukan sekolah agar siswanya lulus dengan prosentasi besar . Dari cara yang halal hingga yang haram (dengan membocorkan soal ujian)
Lalu pertanyaan saya selanjutnya kepada pihak sekolah, “Sampai sejauh mana pihak sekolah berusaha untuk memantau para lulusan mereka ? Jawabnya sederhana yaitu hanya sebatas menyarankan para siswa agar kalau nanti tamat dan melanjutkan kuliah atau bekerja dapat memberitahu sekolahnya.Hanya begitu, tidak lebih dan tak kurang.
Satu bulan lebih pertanyaan-pertanyaan diatas mengusik saya. Sehingga akhirnya secara tiba-tiba muncul pertanyaan lagi dibenak saya, “Apa yang bisa saya (PT Pos Indonesia)lakukan untuk membantu pihak sekolah ?” Beberapa hari saya luangkan waktu untuk melamun di ruangan kerja saya mencari ide hingga suatu hari Spv SDM saya mnyerahkan bulletin amplop Flatrate yang seingat saya waktu itu membahas peluang pengiriman lamaran CPNS dengan layanan FR. “ Nah ini dia yang saya cari”, batin saya berkata,”Kenapa seluruh siswa yang akan tamat SMU/K tidak dibekali dengan selembar formulir yang wajib diisi dan dikembalikan dalam amplop FR Rp 4.000 kepada sekolah beberapa waktu setelah tamat yang berisi informasi bahwa siswa yang bersangkutan telah kuliah di perguruan tinggi A, atau sudah bekerja diperusahaan B, atau masih mencari kerja?” sehingga dengan demikian sekolah punya data yang valid mengenai para lulusannya. Kalau untuk sekolah kejuruan misalnya sekian prosen tamatannya melanjutkan kuliah dan sekian prosen diterima bekerja. Disini mulailah sekolah bisa menilai mutu sekolahnya dan menyatakannya dalam sekumpulan angka. Kalau dinilai baik tinggal dipertahankan sementara kalau kurang baik tinggal memperbaikinya.
Saya kumpulkan para supervisor Kantor Pos Pariaman untuk membahas lebih lanjut mengenai hal ini. Beberapa ide dan gagasan muncul dalam rapat sehingga akhirnya disepakati sebuah layanan dengan nama “FR LPS” (Flatrate Lembar Pemantauan Siswa) Selanjutnya tentu saja ide ini harus dikomunikasikan dengan pihak sekolah sebagai pengguna layanan ini. Disusunlah jadwal kunjungan ke sekolah-sekolah terutama SMK, karena tamatan SMK pada umumnya tidak melanjutkan kuliah, tapi cendrung mencari lapangan kerja.
Dari dua SMK Ekonomi yaitu SMKN 2 dan SMK YPM Zain Pauh kambar dimana saya juga menjadi penguji kompetensi masing-masing berada di Kota Pariaman dan di Kabupaten Pariaman saya mendapat tanggapan yang sungguh luar biasa. Kedua Kepala Sekolah malah berkata kenapa tidak dari dulu pak PT Pos Indonesia meluncurkan layanan ini sehingga tiap tahun kami dapat mengevaluasi mutu sekolah kami dari hasil laporan siswa ini ? Sebuah jalan telah terbuka. Seterusnya tentu perlu disusun strategi untuk mensosialisasikan layanan ini ke seluruh sekolah-sekolah SMU/K.
Hal yang pertama kali sangat dibutuhkan untuk dapat mendatangi sekolah-sekolah adalah rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Lalu saya mencoba untuk mendongengkan cerita tentang kebutuhan evaluasi hasil pendidikan SMU/K kepada Kepala Bagian SMU/K di Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan hasilnya hari itu juga keluar surat rekomendasi kepada PT Pos Indonesia cq Kantor Pos Pariaman untuk mensosialisasikan layanan FR LPS ini keseluruh SMU/K di Kabupaten Padang Pariaman , karena ternyata Dinas Pendidikan sendiri selama ini tidak mempunyai data. Artinya selama ini Dinas pendidikan juga belum sampai memikirkan evaluasi mengenai para lulusan SMU/K tersebut.
Rekomendasi sudah ditangan tinggal melaksanakannya. Lalu muncul masalah yaitu waktu yang sudah mepet sekali karena saat itu para siswa kelas 3 SMU/K sudah mulai melaksanakan UAN (Ujian Akhir Nasional). Tapi dengan modal keyakinan saya mencoba untuk mendatangi SMK dimana saya terdaftar sebagai penguji kompetensi tetap. Kedua Kepala Sekolah ternyata bersedia mencarikan waktu disela-sela pelaksanaan UAS untuk saya memberikan langsung sosialisasi kepada seluruh siswa kelas 3. hal ini dikarenakan untuk layanan ini mau tak mau harus ada harga yang harus dibayar oleh siswa. Pihak sekolah sedikit khawatir kalau sekolah yang memberitahukan kepada siswa akan memberikan kesan banyaknya pungutan menjelang tamat sekolah. Untuk menghindari anggapan tersebut, maka Pos Indonesia sendiri yang harus menjelaskan kepada siswa, dan bila siswa setuju pihak sekolah akan dengan senang hati mengumpulkan dari siswa dengan cara menambahkan biaya FRLPS kepada komponen biaya administrasi pengurusan ijazah. Ternyata dari hasil tanya jawab saya dengan para siswa kelas 3 saat sosialisasi rata-rata mengatakan layanan ini sangat berguna dan sangat murah karena tidak lebih dari harga semangkok baso.
Dua sekolah sudah dipegang, lalu bagaimana dengan puluhan sekolah yang berada di kota maupun kabupaten lainnya ? Satu-satunya jalan adalah memberdayakan seluruh Kakp Cabang diwilayah kerja Kantor Pos Pariaman. Lalu apakah semua Kkpc kita bisa bicara atau menguasai tekhnik negosiasi ? Jangankan bernegosisasi atau meberi sosialisasi pak, bicara saja para Kkpc kita banyak yang tidak bisa, begitu perkataan beberapa Supervisor. Wah wah ternyata untuk emluncurkan sebuah layanan sederhana saja saya harus mulai dengan melatih para pegawai cara bicara/negosiasi. Tapi tidak apa-apa justru inilah kesempatan saya.
Mendadak diundanglah seluruh Kkpc sewilayah kerja Pariaman untuk diberi pelatihan cara bicara atau memberikan sosialisasi bahkan tekhnik negosiasi. Untung sebelumnya saya sudah mendapatkan sedikit ilmu mengenai tekhnik negosisasi dari Bapak DR.Setyo Riyanto, MM di Bandung saat mengikuti pelatihan Corporate Leadership di beberapa waktu setelah saya menjabat Kepala Kantor Pos Pariaman. Ternyata ilmu ini sangat berguna. Dan inilah kesempatan saya menularkan ilmu yang telah didapat dari pelatihan tersebut kepada pegawai lain.
Pelatihan kepada para Kakpc dilakukan dengan metode simulasi yaitu dengan cara seolah-olah para Kkpc berhadapan dengan kepala sekolah. Untuk peran kepala sekolah saya tunjuk Para Supervisor. Ternyata perkataan beberapa supervosir saya benar, untuk bicara saja para Kkpc itu sulit. Banyak yang grogi, padahal belum berhadapan langsung dengan Kepala Sekolah yang sebenarnya. Mulai pukul 14.00 s.d pukul 18.00 pada hari Jum’at pelatihan dilaksanakan sedemikian rupa hingga seluruh Kkpc mempunya rasa percaya diri untuk mensosialisasikan layanan FRLPS ini kepada seluruh kepala sekolah SMU/K di wilayah kerjanya masing-masing. O.K selamat berjuang kata saya diakhir pelatihan tersebut.
Beberapa waktu berlalu hingga pelaksanaan UAN/UAS selesai dan saya menunggu hasilnya dari seluruh Kkpc saya. Ternyata dari sepuluh orang Kkpc hanya dua yang berhasil menggaet sekolah di wilayahnya untuk menggunakan layanan ini. Tapi hasilnya cukup lumayan, setidaknya 250 amplop FR tariff Rp 4.000 terjual, sementara untuk sekolah-sekolah yang di Kota Pariaman yang sosialisasinya dipegang langsung oleh tim pemasaran Kp Pariaman setidaknya 500 lembar terjual. Seandainya layanan ini diluncurkan diseluruh Indonesia, bayangkan berapa jumlah siswa SMU/K yang tamat setiap tahun,lalu berapa ratus ribu atau bahkan berapa juta amplop FR bisa kita jual setiap tahunnya.
Sekarang amplop FRLPS sudah ditangan masing-masing siswa yang tamat tahun ini. Tinggal menunggu pengembalian dari siswa setelah tamat nanti. Dan sebagai antisipasi, telah disosialisasikan kepada seluruh siswa tersebut agar LPS ini dikembalikan ke sekolah paling lambat akhir bulan Agustus 2007. Ditengah-tengah proses menunggu pengembalian LPS ini tba-tiba muncul ide baru dibenak saya yaitu , seandainya banyak dari siswa (terutama SMK) nantinya melaporkan bahwa masih menganggur, kenapa tidak diteruskan saja dengan layanan amplop Flatrate Informasi Lowongan Kerja ? Bagaimana konsep FILK ini ? mari kita tunggu saja pada tulisan berikutnya.
akhir Juni 2007
(Arsyawal)
(FRLPS)
“Cari terobosan baru, robah tantangan jadi peluang”(sambil jari telunjuk kanan menunjuk keatas) itulah sekelumit kata-kata dari Bapak Aliuddin Hosen “Ketua Purie R” Kantor Pos Padang 25500 tahun-tahun pertama saya bekerja di Kantor Pos setalah menamatkan Pendidikan Menengah Pos tahun 1992. Kata-kata yang konon menurut beliau disadur dari ucapan sang jenius Indonesia Prof. DR. Ing. BJ Habibie. Sepintas hanya terdengar seperti ucapan klise yang tanpa kesan. Namun setelah belasan tahun kemudian saya baru menyadari betapa mendalamnya makna ungkapan tersebut bila diaplikasikan di lingkungan kerja sehari hari.
Sebagaimana diketahui bahwa tiap tahun sekolah- sekolah setingkat SMU/K melahirkan tamatan-tamatan yang akan memasuki tahapan baru dalam kehidupannya masing-masing. Bagi yang tamat SMU , kuliah merupakan impian selanjutnya yang ingin diraih, sementara bagi tamatan SMK tentunya lapangan kerja yang sesuai menjadi idaman.
Lalu bagaimana sekolah yang telah ditinggalkan ? Pertanyaan ini sungguh menggelitik hati saya, terutama sejak “dipromosikan” menjadi Kepala Kantor Pos Pariaman 25500 September 2006. Setelah beberapa saat melakukan orientasi medan kedua (karena pada tanhun 1995-1996 saya juga pernah berdinas di pariaman) dan melaksanakan konsolidasi kedalam, maka sayapun mencoba untuk menngumpulkan informasi melalui beberapa kepala sekolah yang sengaja saya datangi. Saya hanya ingin mengetahui sampai sejauh mana pihak sekolah memantau lulusan mereka. Apakah setelah para mantan siswa mengambil ijazah / STTB, sekolah putus hubungan sama sekali dengan mantan anak didik mereka. Dan hasilnya sungguh mengejutkan, tidak satupun sekolah yang saya datangi tersebut berhubungan lagi dengan para lulusan mereka. Artinya pihak sekolah tidak tahu sama sekali setelah tamat mantan siswa tersebut apakah kuliah , bekerja , atau malah ikut berpartisipasi dalam menambah angka pengangguran. Memang ada satu dua siswa yang melaporkan dirinya setelah diterima kuliah di perguruan tinggi anu atau bekerja di perusahaan ini/itu, tapi berapa prosen dibanding seluruh siswa yang tamat ? atau setidaknya dibanding siswa yang tamat di tahun berjalan ? Jawabnya tidak sampai 1%. Jadi bagaimana sebuah sekolah menyatakan mutu lulusannya adalah yang terbaik kalau tidak punya data sama sekali. Kalau hanya sekedar meluluskan siswa saya rasa bukan pekerjaan yang sulit, buktinya banyak cara dilakukan sekolah agar siswanya lulus dengan prosentasi besar . Dari cara yang halal hingga yang haram (dengan membocorkan soal ujian)
Lalu pertanyaan saya selanjutnya kepada pihak sekolah, “Sampai sejauh mana pihak sekolah berusaha untuk memantau para lulusan mereka ? Jawabnya sederhana yaitu hanya sebatas menyarankan para siswa agar kalau nanti tamat dan melanjutkan kuliah atau bekerja dapat memberitahu sekolahnya.Hanya begitu, tidak lebih dan tak kurang.
Satu bulan lebih pertanyaan-pertanyaan diatas mengusik saya. Sehingga akhirnya secara tiba-tiba muncul pertanyaan lagi dibenak saya, “Apa yang bisa saya (PT Pos Indonesia)lakukan untuk membantu pihak sekolah ?” Beberapa hari saya luangkan waktu untuk melamun di ruangan kerja saya mencari ide hingga suatu hari Spv SDM saya mnyerahkan bulletin amplop Flatrate yang seingat saya waktu itu membahas peluang pengiriman lamaran CPNS dengan layanan FR. “ Nah ini dia yang saya cari”, batin saya berkata,”Kenapa seluruh siswa yang akan tamat SMU/K tidak dibekali dengan selembar formulir yang wajib diisi dan dikembalikan dalam amplop FR Rp 4.000 kepada sekolah beberapa waktu setelah tamat yang berisi informasi bahwa siswa yang bersangkutan telah kuliah di perguruan tinggi A, atau sudah bekerja diperusahaan B, atau masih mencari kerja?” sehingga dengan demikian sekolah punya data yang valid mengenai para lulusannya. Kalau untuk sekolah kejuruan misalnya sekian prosen tamatannya melanjutkan kuliah dan sekian prosen diterima bekerja. Disini mulailah sekolah bisa menilai mutu sekolahnya dan menyatakannya dalam sekumpulan angka. Kalau dinilai baik tinggal dipertahankan sementara kalau kurang baik tinggal memperbaikinya.
Saya kumpulkan para supervisor Kantor Pos Pariaman untuk membahas lebih lanjut mengenai hal ini. Beberapa ide dan gagasan muncul dalam rapat sehingga akhirnya disepakati sebuah layanan dengan nama “FR LPS” (Flatrate Lembar Pemantauan Siswa) Selanjutnya tentu saja ide ini harus dikomunikasikan dengan pihak sekolah sebagai pengguna layanan ini. Disusunlah jadwal kunjungan ke sekolah-sekolah terutama SMK, karena tamatan SMK pada umumnya tidak melanjutkan kuliah, tapi cendrung mencari lapangan kerja.
Dari dua SMK Ekonomi yaitu SMKN 2 dan SMK YPM Zain Pauh kambar dimana saya juga menjadi penguji kompetensi masing-masing berada di Kota Pariaman dan di Kabupaten Pariaman saya mendapat tanggapan yang sungguh luar biasa. Kedua Kepala Sekolah malah berkata kenapa tidak dari dulu pak PT Pos Indonesia meluncurkan layanan ini sehingga tiap tahun kami dapat mengevaluasi mutu sekolah kami dari hasil laporan siswa ini ? Sebuah jalan telah terbuka. Seterusnya tentu perlu disusun strategi untuk mensosialisasikan layanan ini ke seluruh sekolah-sekolah SMU/K.
Hal yang pertama kali sangat dibutuhkan untuk dapat mendatangi sekolah-sekolah adalah rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Lalu saya mencoba untuk mendongengkan cerita tentang kebutuhan evaluasi hasil pendidikan SMU/K kepada Kepala Bagian SMU/K di Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan hasilnya hari itu juga keluar surat rekomendasi kepada PT Pos Indonesia cq Kantor Pos Pariaman untuk mensosialisasikan layanan FR LPS ini keseluruh SMU/K di Kabupaten Padang Pariaman , karena ternyata Dinas Pendidikan sendiri selama ini tidak mempunyai data. Artinya selama ini Dinas pendidikan juga belum sampai memikirkan evaluasi mengenai para lulusan SMU/K tersebut.
Rekomendasi sudah ditangan tinggal melaksanakannya. Lalu muncul masalah yaitu waktu yang sudah mepet sekali karena saat itu para siswa kelas 3 SMU/K sudah mulai melaksanakan UAN (Ujian Akhir Nasional). Tapi dengan modal keyakinan saya mencoba untuk mendatangi SMK dimana saya terdaftar sebagai penguji kompetensi tetap. Kedua Kepala Sekolah ternyata bersedia mencarikan waktu disela-sela pelaksanaan UAS untuk saya memberikan langsung sosialisasi kepada seluruh siswa kelas 3. hal ini dikarenakan untuk layanan ini mau tak mau harus ada harga yang harus dibayar oleh siswa. Pihak sekolah sedikit khawatir kalau sekolah yang memberitahukan kepada siswa akan memberikan kesan banyaknya pungutan menjelang tamat sekolah. Untuk menghindari anggapan tersebut, maka Pos Indonesia sendiri yang harus menjelaskan kepada siswa, dan bila siswa setuju pihak sekolah akan dengan senang hati mengumpulkan dari siswa dengan cara menambahkan biaya FRLPS kepada komponen biaya administrasi pengurusan ijazah. Ternyata dari hasil tanya jawab saya dengan para siswa kelas 3 saat sosialisasi rata-rata mengatakan layanan ini sangat berguna dan sangat murah karena tidak lebih dari harga semangkok baso.
Dua sekolah sudah dipegang, lalu bagaimana dengan puluhan sekolah yang berada di kota maupun kabupaten lainnya ? Satu-satunya jalan adalah memberdayakan seluruh Kakp Cabang diwilayah kerja Kantor Pos Pariaman. Lalu apakah semua Kkpc kita bisa bicara atau menguasai tekhnik negosiasi ? Jangankan bernegosisasi atau meberi sosialisasi pak, bicara saja para Kkpc kita banyak yang tidak bisa, begitu perkataan beberapa Supervisor. Wah wah ternyata untuk emluncurkan sebuah layanan sederhana saja saya harus mulai dengan melatih para pegawai cara bicara/negosiasi. Tapi tidak apa-apa justru inilah kesempatan saya.
Mendadak diundanglah seluruh Kkpc sewilayah kerja Pariaman untuk diberi pelatihan cara bicara atau memberikan sosialisasi bahkan tekhnik negosiasi. Untung sebelumnya saya sudah mendapatkan sedikit ilmu mengenai tekhnik negosisasi dari Bapak DR.Setyo Riyanto, MM di Bandung saat mengikuti pelatihan Corporate Leadership di beberapa waktu setelah saya menjabat Kepala Kantor Pos Pariaman. Ternyata ilmu ini sangat berguna. Dan inilah kesempatan saya menularkan ilmu yang telah didapat dari pelatihan tersebut kepada pegawai lain.
Pelatihan kepada para Kakpc dilakukan dengan metode simulasi yaitu dengan cara seolah-olah para Kkpc berhadapan dengan kepala sekolah. Untuk peran kepala sekolah saya tunjuk Para Supervisor. Ternyata perkataan beberapa supervosir saya benar, untuk bicara saja para Kkpc itu sulit. Banyak yang grogi, padahal belum berhadapan langsung dengan Kepala Sekolah yang sebenarnya. Mulai pukul 14.00 s.d pukul 18.00 pada hari Jum’at pelatihan dilaksanakan sedemikian rupa hingga seluruh Kkpc mempunya rasa percaya diri untuk mensosialisasikan layanan FRLPS ini kepada seluruh kepala sekolah SMU/K di wilayah kerjanya masing-masing. O.K selamat berjuang kata saya diakhir pelatihan tersebut.
Beberapa waktu berlalu hingga pelaksanaan UAN/UAS selesai dan saya menunggu hasilnya dari seluruh Kkpc saya. Ternyata dari sepuluh orang Kkpc hanya dua yang berhasil menggaet sekolah di wilayahnya untuk menggunakan layanan ini. Tapi hasilnya cukup lumayan, setidaknya 250 amplop FR tariff Rp 4.000 terjual, sementara untuk sekolah-sekolah yang di Kota Pariaman yang sosialisasinya dipegang langsung oleh tim pemasaran Kp Pariaman setidaknya 500 lembar terjual. Seandainya layanan ini diluncurkan diseluruh Indonesia, bayangkan berapa jumlah siswa SMU/K yang tamat setiap tahun,lalu berapa ratus ribu atau bahkan berapa juta amplop FR bisa kita jual setiap tahunnya.
Sekarang amplop FRLPS sudah ditangan masing-masing siswa yang tamat tahun ini. Tinggal menunggu pengembalian dari siswa setelah tamat nanti. Dan sebagai antisipasi, telah disosialisasikan kepada seluruh siswa tersebut agar LPS ini dikembalikan ke sekolah paling lambat akhir bulan Agustus 2007. Ditengah-tengah proses menunggu pengembalian LPS ini tba-tiba muncul ide baru dibenak saya yaitu , seandainya banyak dari siswa (terutama SMK) nantinya melaporkan bahwa masih menganggur, kenapa tidak diteruskan saja dengan layanan amplop Flatrate Informasi Lowongan Kerja ? Bagaimana konsep FILK ini ? mari kita tunggu saja pada tulisan berikutnya.
akhir Juni 2007
(Arsyawal)
Langganan:
Postingan (Atom)