Rabu, 04 Juli 2007

SMU/SMK HANYA MELAHIRKAN PENGANGGURAN ?

Beberapa hari belakangan ini media-media cetak lokal ramai sekali memberitakan berbagai liputan bekaitan dengan euphoria kelulusan siswa baik SMP maupun SMU/K. Ada yang berisi pujian terhadap sekolah yang berhasil meluluskan siswanya diatas 90%, ada yang memberitakan tentang siswa-siswa yang berprestasi mulai dari peraih nilai UAN tertinggi sampai pada siswa-siswa yang beruntung dapat masuk Perguruan Tinggi melalu jalur PMDK. Begitu ramainya sehingga dari pertengahan Juni sampai awal bulan Juli ini berita-berita sejenis masih menghiasi halaman-halaman koran seolah-olah masalah kelulusan ini menjadi sumber berita yang tidak akan ada habisnya.
Saya sungguh geli dan sedih membaca berita bagaimana para siswa lulusan sebuah SMU disuatu kota di Sumbar melampiaskan kegembiraannya dengan aksi corat-coret baju seragam sekolah yang mungkin bagi sebagian besar anak-anak lain untuk membeli seragam yang layak saja harus berurai air mata meminta kepada orang tuanya karena si orang tua hanyalah buruh bangunan dengan penghasilan senin kamis.
Sungguh suatu yang ironis menurut saya, kenapa tidak ? coba simak berita-berita beberapa waktu lalu sebelum UAN dilaksanakan. Banyak terpampang berita tentang bagaimana sebuah sekolah mengadakan “muhasabah” hanya untuk menenangkan batin para siswa yang akan mengikuti UAN seakan-akan UAN seperti kiamat kecil yang bakal datang menimpa. Saya juga masih ingat ketika dibeberapa TV swasta diberitakan banyak sekolah-sekolah yang juga mengadakan “pengajian” yang diakhiri dengan acara salam-salaman antara siswa dengan para guru atau orang tuanya yang dengan berurai air mata memohon do’a restu sang guru dan orang tua laksana seorang pemuda yang pamit kepada orang tuanya untuk mengahadapi medan pertempuran besar yang mungkin akan mengambil nyawanya. Kedatangan hantu menakutkan yang bernama UAN disikapi dengan berbagai cara. Berbagai jalan dilakukan untuk mengalahkan sang hantu tersebut. Mulai cara yang halal hingga cara haram seperti yang pernah dilansir media yaitu bagaimana murid SMK Dhuafa padang “walk out” dari ruang ujian karena menyaksikan suatu kecurangan terjadi didepan mereka.
Sekarang setelah sang hantu UAN berlalu dari hadapan mereka para siswa. Ada yang menang melawan hantu tersebut alias lulus UAN ada yang kalah alias tidak lulus. Yang menang berpesta pora yang kalah larut dalam kesedihannya. Dan sayangnya yang menang menyikapi dengan berlebihan sebagaimana yang saya sebutkan diatas yaitu dengan corat-coret baju atau konvoi-konvoi dengan sepeda motor mengelilingi kota sambil menikmati sumpah serapah masyarakat yang merasa terganggu dengan polah tingkah mereka. Alhamdulillah konvoi-konvoi ala anak Jakarta ini tidak terlalu banyak dijumpai di Sumatera Barat.
Sekali lagi saya “geli” melihat para siswa baru tamat terutama SMU/K tersebut. Coba hitung berapa dari sekian ribu atau bahkan puluhan ribu siswa yang baru tamat tersebut akan tertampung di Perguruan Tinggi atau diterima bekerja terutama bagi yang berasal dari SMK. Berapa persen ? 10 % ? , 20 % , 30 % atau mungkin sampai 50% ? . taruhlah 50% tertampung terus sisanya kemana ? Angka kualitas 50% itu mewakili kuantitas berapa (puluh) ribu ? Sungguh fantastis ! Itu baru di Sumatera Barat lalu bagaimana untuk seluruh Indonesia ? Spektakuler itulah jawabannya.
Lebih geli lagi ketika saya membaca tulisan Sdr R. Andriadi Achmad di halaman Opini Padek tanggal 4 Juli 2007. Dalam artikel berjudul “Sarjana Muda di Tengah Kebingungan” dimana penulisnya mengambil data statistic tahun 2005 dimana 708.254 jiwa pengangguran di Indonesia disumbangkan oleh Pergutuan Tinggi. Lalu berapa angka yang disumbangkan SMU/K ? jawabnya mungkin dua kali lipat , tiga kali lipat , atau bahkan sepuluh kali lipat ? yang jelas angka pengangguran yang disumbangkan oleh SMU/K pasti jauh lebih besar. Bayangkan kalau tamat PT saja masih menganggur bagaimana kalau cuma tamat SMU/K ? Kalau begitu apa yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah SMU/K setiap tahunnya kalau bukan pengangguran ? Dalam tulisannya Sdr. Andiadi berpendapat factor-faktor kenapa para sarjana muda berada dipersimpangan jalan pasca kampus antara lain para sarjana belum siap menghadapi dunia masyarakat (mungkin maksudnya dunia kerja atau dunia usaha?) Kalau mantan mahasiswa saja belum siap bagaimana mantan anak SMU/K ?
Saya pernah beberapa kali berdiskusi dengan beberapa kepala sekolah SMK di Kota Pariaman dan kabupaten Padang Pariaman. Saya hanya menanyakan suatu pertanyaan yang sedehana sekali kepada beliau-beliau yaitu berapa persen dari tamatan sekolah mereka sudah bekerja atau kuliah. Tidak satupun dari kepala sekolah dapat memberikan data yang akurat tentang hal itu. Artinya selama ini sekolah tidak berhubungan lagi dengan para mantan siswanya. Memang ada satu dua yang melaporkan diri setelah diterima bekerja atau melanjutkan kuliah.
Pernah juga saya berdiskusi dengan Ka Bag SMU/K Dinas Dikora Kabupaten tempat saya bekerja mengenai hal ini. Artinya apakah Dinas Dikora sebagai dinas yang berkompeten mengurusi masalah ini punya data tentang berapa persen tamatan SMU/K setiap tahunnya yang melanjutkan kuliah , bekerja, atau seperti disebutkan diatas berpartisipasi dalam meningkatkan angka pengangguran. Ternyata mereka juga tidak punya data. Jadi hasil pendidikan selama tiga tahun siswa SMU/K hanya dinilai dari berapa persen yang lulus UAN. Sungguh luar biasa….
Tak ketinggalan pula saya mencoba berdiskusi mengenai pengangguran yang disumbangkan oleh SMU/K dengan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terlontar anekdot lucu dari beliau yaitu bagaimana tamatan SMK saja masih banyak yang tidak bekerja apalagi tamatan SMU. Lalu beliau menyebutkan bahwa SMK sekarang hanyalah nama lain dari SMU IPS/BAHASA di jaman beliau muda dahulu. Lalu saya bertanya, “ Bagusnya menurut Bapak bagaimana ?” Beliau menjawab harusnya metode pengajaran di SMK tidak memakai kurikulum sebagaimana yang dijalankan sekarang, harusnya untuk SMK memakai silabus yang disesuaikan dengan kebutuhan sekarang dan bisa disesuiakan setiap waktu mengikuti perkembangan jaman”. Menurut beliau lagi SMU itu cukup satu tahun saja, artinya sewaktu mau naik kelas dua sudah diketahui potensi seorang siswa untuk meneruskan pendidikan sampai ke PT sangat kecil, maka segera yang bersangkutan dipindahkan ke SMK untuk dipersiapkan menjadi calon tenaga kerja yang handal sesuai tingkatannya. Lebih jauh lagi beliau berpendapat agar setiap tamatan SMK mendapatkan sertifikat keahlian yang bisa “dijual” di pasaran tenaga kerja seperti ini kata beliau (sambil beliau menyodorkan contoh sertifikat keahlian mengelas dengan grade/level tertentu yang saya lupa ).
Dari uraian diatas ternyata tidak begitu salah kalau dikatakan SMU/K dengan kondisi seperti saat ini diteruskan, maka SMU/K hanya akan melahirkan penganguran-pengangguran baru setiap tahunnya. Lalu bagaimana solusinya ? Mari kita pikirkan bersama. Namun sejalan dengan upaya mencari solusi atas masalah diatas alangkah indahnya kalau pihak sekolah dan dinas terkait mulai sekarang memiliki data yang valid tentang mutu tamatan SMU/K setiap tahun yang tidak hanya dilihat dari angka kelulusan UAN semata tapi lebih jauh lagi yaitu berapa yang melanjutkan pendidikan, berapa yang ikut kursus-kursus, berapa yang mendapatkan lapangan kerja (atau bahkan membuat lapangan kerja sendiri) dan berapa yang tidak termasuk dalam ketegori diatas alias masih mencari kerja.
Disini penulis memiliki ide sederhana yaitu bagaimana kalau setiap lulusan SMU/K dibekali dengan selembar surat (atau taruhlah namanya Lembar Pemantauan Siswa) berisi pemberitahuan yang akan dikirimkan kepada sekolahnya setelah tamat setidaknya 6 bulan setelah tamat sehingga sekolah memiliki data yang akurat mengenai lulusannya. Dan formulir ini harus dibagikan sebelum siswa benar-benar putus hubungan dengan sekolahnya dan kepada siswa agar ditekankan supaya benar-benar mengembalikan/ mengirim pemberitahuan tersebut kesekolahnya.
(arsyawal)