Selasa, 30 Juni 2009
Kamis, 18 Juni 2009
Membuka Hati untuk Menjadi Pribadi yang Santun
Saudara-saudara Sekalian.
Dalam kehidupan kita sehari-hari seringkali kita dihadapkan kepada situasi yang kurang menyenangkan. Situasi ini bisa datang dari mana saja di lingkungan kita.Dari dalam keluarga bisa saja datang dari istri, anak, orang tua, saudara dan lain-lain, sementara itu dari luar keluarga situasi ini bisa saja berasal dari lingkungan tempat kerja seperti dari bawahan , teman sejawat , atasan, pelanggan, dan lain sebagainya. Bermacam ragam peristiwa tidak menyenangkan hati ini bisa kita terima.
Seperti halnya siapapun juga, maka saya juga pernah mengalami hal serupa. Betapa sebuah perbuatan kecil dapat berakibat besar kalau situasinya tidak tepat. Mungkin saya tidak akan menceritakan secara detail tentang peristiwa apa, namun ada beberapa hal yang seakan menjadi pencerahan bagi pribadi saya.
Siapapun juga tidak ingin mencari masalah dengan orang-orang sekelilingnya. Apakah itu berasal dari ucapan ,perbuatan ,tulisan atau hal lainnya. Saya tergerak dengan penyampaian pimpinan saya dalam sebuah acara pembinaan rohani. Bahwa dalam situasi yang bernuansa keagamaan mengapa kita semua bisa menjadi sebuah pribadi yang santun serta menyenangkan. Menyampaikan sesuatu dengan cara yang bijaksana, sehingga yang dimaksud bisa kesampaian tanpa menimbulkan akibat yang tidak diinginkan.
Saya bertanya-tanya kenapa kita sulit untuk menjadi pribadi mulia, padahal kita sudah berusaha. Apakah yang kurang pada diri kita sehingga ada orang yang "marah" kepada kita atau perbuatan kita. Padahal dulu kita adalah orang-orang yang santun dan terbuka.
Seringkali saya termenung mengapa saya harus memendam sebuah kebencian dihati saya. Mengapa kita tidak membuka hati untuk menerima saudara-saudara kita apa adanya. Memang sering saya memendam pertanyaan dalam hati apakah memang sulit untuk menjadi orang yang "dapat diterima" apakah memang susah menjadi orang yang "disukai", apakah begitu sukar menjadi orang "berharga".
Hati manusia begitu luasnya sehingga sanggup menerima besarnya kekuasaan Allah melalui ciptaan-Nya. Lalu mengapa disaat-saat tertentu hati itu menjadi begitu kecil sehingga tidak bisa menampung sedikit realita ?Mengapa kita merasa begitu tersiksa hanya karena orang lain tidak merasakan apa yang kita rasa.
Saudara-saudara, lima bulan lamanya saya merenung untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiriran saya, dan ternyata jawabannya hanya sederhana yaitu "BUKALAH HATI UNTUK MENJADI PRIBADI YANG SANTUN" dan cara yang paling sederhana mulai saat ini adalah "kurangi bicara" atau bicaralah yang baik-baik saja kalau memang harus bicara.
DD
Rabu, 17 Juni 2009
Rabu, 10 Juni 2009
Life is a choice.
Salam super semuanya !!
Saudara-saudara terkadang kita sulit menerima kenyataan. Adalah suatu dilema yang berat untuk dihadapi antara pilihan-pilihan. Dipersimpangan jalan seperti sekarang ibarat buah simalakama. Disatu sisi harus tetap bertahan dengan keadaan saat ini sementara disisi yang lain tuntutan masa depan menganjurkan untuk mengambil jalan yang cukup beresiko.
Saya yakin seyakin-yakinnya salah satu cara untuk memperbaiki masa depan adalah dengan merubah masa sekarang. Namun disisi lain kenyamanan dan kemapanan saat ini akan terganggu keseimbangannya. Ibarat kata pepatah bermain api terbakar, bermain air basah. Bagaimana kita harus memiliki ketetapan hati untuk merubah hidup untuk sebuah kesuksesan di masa yang akan datang ?
Seringkali saya mendengar dan meresapi untaian kata-kata motivasi dari pakar-pakar yang mungkin telah melewati masa sulitnya. Berada di titik nadier seperti sekarang sungguh suatu ujian yang cukup memberikan pencerahan tentang makna mengikuti kata hati.
Sementara itu perubahan yang diharapkan semakin hari bukannya semakin mendekat tapi malah semakin jauh. Mungkin ungkapan seperti ini bagi orang awam tidak lebih dari untaian kata yang mewakili suatu kekecewaan, namun menurut saya ini adalah bentuk perjuangan melawan hati.
Jika mendengar kata-kata Bpk. Mario Teguh agar kita berdamai dengan diri sendiri terlihat suatu yang mudah, tapi pada kenyataannya berdamai dengan keadaanlah yang cukup sulit. Kita selalu meyakini bahwa "there is always the green behind the sandtrap", sebagai seorang the winner saya telah memegangnya selama 17 tahun ini. Lalu suatu hari saya tersadar akankah saya perlu mengunggu 17 tahun episode usia berikutnya hanya dengan menunggu. Sebagai penguasa "nasib" saya sudah menguasai kemudi hidup sebagai konsekuensi sebuah pilihan.
Sawang sinawang dalam kehidupan ini memang selalu akan hadir menyertai perjalanan kita. Tapi untuk suatu perubahan kita harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan, bahkan seharunya kitalah perubahan itu !
Saudara-saudara terkadang kita sulit menerima kenyataan. Adalah suatu dilema yang berat untuk dihadapi antara pilihan-pilihan. Dipersimpangan jalan seperti sekarang ibarat buah simalakama. Disatu sisi harus tetap bertahan dengan keadaan saat ini sementara disisi yang lain tuntutan masa depan menganjurkan untuk mengambil jalan yang cukup beresiko.
Saya yakin seyakin-yakinnya salah satu cara untuk memperbaiki masa depan adalah dengan merubah masa sekarang. Namun disisi lain kenyamanan dan kemapanan saat ini akan terganggu keseimbangannya. Ibarat kata pepatah bermain api terbakar, bermain air basah. Bagaimana kita harus memiliki ketetapan hati untuk merubah hidup untuk sebuah kesuksesan di masa yang akan datang ?
Seringkali saya mendengar dan meresapi untaian kata-kata motivasi dari pakar-pakar yang mungkin telah melewati masa sulitnya. Berada di titik nadier seperti sekarang sungguh suatu ujian yang cukup memberikan pencerahan tentang makna mengikuti kata hati.
Sementara itu perubahan yang diharapkan semakin hari bukannya semakin mendekat tapi malah semakin jauh. Mungkin ungkapan seperti ini bagi orang awam tidak lebih dari untaian kata yang mewakili suatu kekecewaan, namun menurut saya ini adalah bentuk perjuangan melawan hati.
Jika mendengar kata-kata Bpk. Mario Teguh agar kita berdamai dengan diri sendiri terlihat suatu yang mudah, tapi pada kenyataannya berdamai dengan keadaanlah yang cukup sulit. Kita selalu meyakini bahwa "there is always the green behind the sandtrap", sebagai seorang the winner saya telah memegangnya selama 17 tahun ini. Lalu suatu hari saya tersadar akankah saya perlu mengunggu 17 tahun episode usia berikutnya hanya dengan menunggu. Sebagai penguasa "nasib" saya sudah menguasai kemudi hidup sebagai konsekuensi sebuah pilihan.
Sawang sinawang dalam kehidupan ini memang selalu akan hadir menyertai perjalanan kita. Tapi untuk suatu perubahan kita harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan, bahkan seharunya kitalah perubahan itu !
Hidup Itu Pilihan
Salam Super. Saudara-saudara tercinta.
Dalam hidup ini ternyata yang kita hadapi hanyalah pilihan-pilihan. Oleh karena itu apapun keadaan kita saat ini merupakan koksekuensi pilihan kita dimasa yang lalu.
Dalam menentukan pilihan memang kadang-kadang kita bisa berdaulat penuh untuk menentukan, namun tidak jarang tentunya kita harus memilih "satu diantara satu" alias tidak ada pilihan lain.
Lalu muncul pertanyaan di benak kita, "apakah hal demikian juga memilih namanya "?Menurut saya jawabannya adalah "iya" karena saat itupun merupakan konsekuensi atas pilihan yang kita lakukan sebelumnya.
Seringkali kita harus melakukan justifikasi atau pembenaran atas apa yang kita sudah pilih. Padahal apaun yang anda pilih pada suatu masa, maka itu adalah pilihan yang terbaik saat itu. Hanya saja apakah kita cukup berani menanggung resiko atas pilihan tersebut.
Seorang pengecut tentu akan berdalih dengan kata "terpaksa". Seorang berani akan berkata itu adalah pilihan saya. Banyak orang menyerah dengan nasib tapi tidak sedikit yang berjibaku untuk hidup. Dan ternyata itupun sebuah pilihan.
Analog dengan keadaan saya. Tamat SMA saya dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk jadi apa selanjutnya. Saat itu saya pilih jadi tentara.
Tapi saya juga cukup heran kenapa tiba-tiba muncul di Pos dan Giro (tempo doeloe).
Lalu saya coba-coba melakukan "flashback journey" ke titik dimana saya harus memilih waktu itu.
Sampailah saya ke sebuah moment dimana saya harus memilih antara cita-cita dan orang tua.Sebagai seorang anak prajurit menurut saya adalah mulia meneruskan cita-cita orang tua. Kalau Bapak saya hanya seorang Kopral Satu Polisi Militer ( Kalau dulu namanya PT/POMAD alias Polisi Tentara datau Polisi Militer Angkatan Darat-mhn koreksi kalau saya keliru) rasanya suatu kemajuan besar kalau saya bercita-cita jadi Jendral.
Lalu banyak teman saya bertanya, "Kenapa tidak jadi"? Sebagai sebuah pilihan tentunya saya akan berjalan kejalan yang menuju pilihan tersebut. Dalam hal ini tentunya masuk Akademi Militer. Jadilah saya pendaftar nomor 1 di KODIM 0304/ Agam. Enam bulan lamanya saya menempa fisik mempersiapkan diri untuk ikut seleksi. Sebagai seorang yang aktif menggeluti olah raga Karate dan Binaraga tentunya dari segi fisik saya harus meyakinkan diri tidak akan kalah dengan peminat lainnya.Anda tentunya akan bertanya lagi "kenapa tidak jadi juga"?
Inilah masalahnya. Wanita yang telah melahirkan saya tidak menyetujuinya. Apapun alasannya saya tidak perlu mengetahuinya karena menurut saya hati seorang ibu tidak akan pernah berdusta.
Selanjutnya tentulah saya harus berhadapan dengan pilihan lainnya. Pilihan saya waktu itu adalah jalani hidup apa adanya. Sekedar diketahui saat kelas 3 SMA (Jurusan Fisika/SMAN 1 Bukittinggi)saya juga mendapat pilihan untuk kuliah di UI melalui jalur PMDK, pilihan saya waktu itu adalah menolaknya karena jelas-jelas kuliah butuh biaya cukup besar yang nampaknya tidak mungkin akan dipenuhi oleh orang tua.Namun saya pilih itu bukan karena putrus asa.
Kerja di bengkel las (kebetulan yang punya orang tua sahabat saya).Gaji Rp 5.000 sehari ternyata telah menghadapkan saya ke pilihan berikutnya yaitu untuk berhenti setelah 6 bulan. Muncullah soulmate saya yang bernama Ferri Mursalhadi yang mengajak kuliah di Politeknik Universitas Andalas Padang. Akhirnya saya kuliah juga dengan membawa cita-cita yang dulu yaitu jadi tentara.
Saudara-saudara, ternyata rela ibu itu suatu yang luar biasa. Karena dari awal saya tidak direstui jadi tentara akhirnya api kuliah itupun padam di semester 3. Ditengah-tengah perkuliahan itulah muncul kesempatan untuk sekolah gratis di Akademi Pos Bandung. Apalagi dengan jaminan akan langsung bekerja. Inilah pilihan saya.Setelah satu setengah tahun mengikuti pendidikan (tepatnya pelatihan) saya ditempatkan kembali ke Kota Padang (yang sebenarnya ingin saya lupakan dengan segala tragedi cinta saya :)...
(bersambung)
Dalam hidup ini ternyata yang kita hadapi hanyalah pilihan-pilihan. Oleh karena itu apapun keadaan kita saat ini merupakan koksekuensi pilihan kita dimasa yang lalu.
Dalam menentukan pilihan memang kadang-kadang kita bisa berdaulat penuh untuk menentukan, namun tidak jarang tentunya kita harus memilih "satu diantara satu" alias tidak ada pilihan lain.
Lalu muncul pertanyaan di benak kita, "apakah hal demikian juga memilih namanya "?Menurut saya jawabannya adalah "iya" karena saat itupun merupakan konsekuensi atas pilihan yang kita lakukan sebelumnya.
Seringkali kita harus melakukan justifikasi atau pembenaran atas apa yang kita sudah pilih. Padahal apaun yang anda pilih pada suatu masa, maka itu adalah pilihan yang terbaik saat itu. Hanya saja apakah kita cukup berani menanggung resiko atas pilihan tersebut.
Seorang pengecut tentu akan berdalih dengan kata "terpaksa". Seorang berani akan berkata itu adalah pilihan saya. Banyak orang menyerah dengan nasib tapi tidak sedikit yang berjibaku untuk hidup. Dan ternyata itupun sebuah pilihan.
Analog dengan keadaan saya. Tamat SMA saya dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk jadi apa selanjutnya. Saat itu saya pilih jadi tentara.
Tapi saya juga cukup heran kenapa tiba-tiba muncul di Pos dan Giro (tempo doeloe).
Lalu saya coba-coba melakukan "flashback journey" ke titik dimana saya harus memilih waktu itu.
Sampailah saya ke sebuah moment dimana saya harus memilih antara cita-cita dan orang tua.Sebagai seorang anak prajurit menurut saya adalah mulia meneruskan cita-cita orang tua. Kalau Bapak saya hanya seorang Kopral Satu Polisi Militer ( Kalau dulu namanya PT/POMAD alias Polisi Tentara datau Polisi Militer Angkatan Darat-mhn koreksi kalau saya keliru) rasanya suatu kemajuan besar kalau saya bercita-cita jadi Jendral.
Lalu banyak teman saya bertanya, "Kenapa tidak jadi"? Sebagai sebuah pilihan tentunya saya akan berjalan kejalan yang menuju pilihan tersebut. Dalam hal ini tentunya masuk Akademi Militer. Jadilah saya pendaftar nomor 1 di KODIM 0304/ Agam. Enam bulan lamanya saya menempa fisik mempersiapkan diri untuk ikut seleksi. Sebagai seorang yang aktif menggeluti olah raga Karate dan Binaraga tentunya dari segi fisik saya harus meyakinkan diri tidak akan kalah dengan peminat lainnya.Anda tentunya akan bertanya lagi "kenapa tidak jadi juga"?
Inilah masalahnya. Wanita yang telah melahirkan saya tidak menyetujuinya. Apapun alasannya saya tidak perlu mengetahuinya karena menurut saya hati seorang ibu tidak akan pernah berdusta.
Selanjutnya tentulah saya harus berhadapan dengan pilihan lainnya. Pilihan saya waktu itu adalah jalani hidup apa adanya. Sekedar diketahui saat kelas 3 SMA (Jurusan Fisika/SMAN 1 Bukittinggi)saya juga mendapat pilihan untuk kuliah di UI melalui jalur PMDK, pilihan saya waktu itu adalah menolaknya karena jelas-jelas kuliah butuh biaya cukup besar yang nampaknya tidak mungkin akan dipenuhi oleh orang tua.Namun saya pilih itu bukan karena putrus asa.
Kerja di bengkel las (kebetulan yang punya orang tua sahabat saya).Gaji Rp 5.000 sehari ternyata telah menghadapkan saya ke pilihan berikutnya yaitu untuk berhenti setelah 6 bulan. Muncullah soulmate saya yang bernama Ferri Mursalhadi yang mengajak kuliah di Politeknik Universitas Andalas Padang. Akhirnya saya kuliah juga dengan membawa cita-cita yang dulu yaitu jadi tentara.
Saudara-saudara, ternyata rela ibu itu suatu yang luar biasa. Karena dari awal saya tidak direstui jadi tentara akhirnya api kuliah itupun padam di semester 3. Ditengah-tengah perkuliahan itulah muncul kesempatan untuk sekolah gratis di Akademi Pos Bandung. Apalagi dengan jaminan akan langsung bekerja. Inilah pilihan saya.Setelah satu setengah tahun mengikuti pendidikan (tepatnya pelatihan) saya ditempatkan kembali ke Kota Padang (yang sebenarnya ingin saya lupakan dengan segala tragedi cinta saya :)...
(bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)